Sunday 15 August 2010

Female Agents

Film yang berlatar Perang Dunia II ini, dibuat berdasarkan kisah nyata dari Lise Villameur, mantan anggota SOE yang mendapat penghargaan medali kebangsawanan tertinggi dari Prancis dan Inggris, atas aksi yag telah dilakukannya.
Winston Churchill, merupakan perdana menteri Inggris, membentuk SOE (Special Operations Executive), suatu organisasi yang bergerak dalam bidang inteligen, yang merekrut orang-orang dari berbagai kalangan. Louise Desfontaines (Sophie Marceau), adalah janda yang menjadi salah satu agen yang dikirim untuk menjalani misi dalam menyelamatkan seorang ahli geologi, yang merupakan mata-mata Inggris sekaligus untuk membunuh kolonel Heindrich (Moritz Blebtreau), Kepala Intel SS Nazi yang sedang bertugas di Paris, Perancis. Louise beserta saudaranya, Pierre (Julien Boisselier), mulai merekrut wanita-wanita dari berbagai latar belakang untuk membantu misi tersebut. Ada yang bekas pekerja seks komersil, ahli bahan peledak, sampai mantan kekasih dari kolonel Heindrich.
Apa yang menarik di film ini adalah, mereka merupakan agen yang benar-benar tidak bisa diandalkan. Sejujurnya, mendengar kata AGENTS, tentulah –seharusnya- mereka merupakan orang-orang terpilih dengan kemampuan diatas rata-rata serta menjadi bagian perang yang ditakuti. Begitu banyak kesalahan serta terlalu riskan untuk mereka menjadi seorang agen. Tapi, mungkin inilah yang sebenarnya terjadi sekitar 60 tahun silam.
Berbagai macam konflik khas wanita dibahas di sini. Mulai dari Jeanne (Julie Depardieu) yang ingin kabur, Gaelle (Deborah Francois) yang begitu naif, Suzy (Marie Gillain) yang masih bisa terpengaruh oleh perasaan terhadap mantan kekasihnya, Louise yang sangat terpukul  ketika mengetahui bahwa disaat yang tidak tepat ini, dia ternyata hamil, serta kemauan mereka untuk melawan rasa takut dan pesimis ketika satu per satu dari mereka ditawan dan mati ditembak. Suatu pembuktian bahwa sekalipun dalam suasana genting, wanita tetap membawa perasaannya. Sangat ironi memang, karena di saat wanita lain sedang sibuk menyembunyikan dirinya dibalik kekuatan pria, justru para agen cantik ini bangkit dan merelakan nyawanya, untuk membela negara. Yah, untuk itulah wanita memang pantas diistimewakan.
Female Agents, dengan bahasanya yang feminim justru mampu memberikan sensasi brutal bagi penontonnya. Meskipun ada beberapa adegan yang terkesan berlari cepat, dan saya butuh waktu beberapa saat untuk mencernanya kembali, namun dengan adanya adegan pemukulan sadis, serta beberapa plot yang terkesan vulgar, Julie dan kawan-kawan tetap mampu menunjukkan kualitas mereka. Pemilihan aktris dan aktor pun sungguh tidak bisa dianggap sebelah mata. Inilah kehebatan film-film perang asal Eropa, dan selalu menjadi alasan mengapa saya lebih memilih menghabiskan waktu untuk menonton film dari Perancis dibandingkan menonton film perang keluaran Hollywood, apalagi kalau bukan, pendalaman karakter yang kuat dan mampu mengobrak-abrik perasaan. Sebut saja Sophie Marceau, yang ikut berperan di James Bond, The World is not Enough (1999). Jullie Depardieu, yang mewarisi bakat akting dari orang tuanya. Deborah Francois yang mendapatkan Best Belgian Actress, serta sederet pemain lain, yang tentunya tidak kalah hebat. Kalau saya sendiri lebih tertarik pada Moritz Blebtreau, yang dengan wajah yang tampan dan berwibawa, sangat tidak pantas dia memerankan Kolonel Nazi yang harusnya kejam dan ditakuti.  
Saya akui, awalnya saya tertarik dengan judulnya, yang dalam bayangan saya, Female Agents merupakan agen wanita brilian dengan aksi beladiri memukau yang tentunya tidak kalah dengan sosok Anggelina Jolie, tapi, segera saya tersadar bahwa jangan pernah berharap untuk menikmati adegan aksi khas suasana perang di sini, meskipun ada, tapi kadarnya sangat minim. Justru film ini dikupas berdasarkan sisi kewanitaan dari Villameur. Mungkin agak kasar jika saya menyebutkan bahwa ini merupakan film drama, karena jelas sekali Mr. Salome masih membumbui “masakannya”, dengan ledakan bom, tembak-tembakan, serta kejar-kejaran. Atau, mungkin lebih pantas jika saya menyebutkannya sebagai film dokumenter. Suatu film yang real pernah terjadi dan apa adanya.
Menonton film ini, mengingatkan saya pada the next Merah Putih yang akan ditayangkan di Negara kita tercinta. Meskipun saya sudah merasa sakit hati dengan yang pertama, karena menurut saya masih lebih bagus menonton film G30S PKI yang dulu sering ditayangkan di TV, tapi karena ini menceritakan tentang perjuangan bangsa kita, dan menjadi satu-satunya film kepahlawanan sejak sepuluh bahkan duapuluh tahun belakangan, saya akan tetap berharap, semoga ada kemajuan dari film terdahulunya.

0 comment:

Post a Comment