Saturday 31 July 2010

SALT

Belum puas kita dimanjakan dengan kehadiran The Sorcerer’s Apprentice dan Inception yang begitu memukau, kali ini keluarga besar Hollywod menjagokan Anggelina Jolie dalam film yang berjudul Salt. Mendengar nama Jolie, pastilah kita langsung ngeh dengan tema dari film ini. Yah, betul sekali! Tidak jauh dari bela diri, tembak-tembakan, serta ledakan.
Salt disini bukan berarti garam. Melainkan last name dari Evelyn Salt. Seorang wanita yang merupakan agen CIA. Suatu hari, datang seorang pria yang mengungkap bahwa Salt merupakan mata-mata dari Rusia. Salt menjadi kalang kabut dan melarikan diri. Hal ini justru membuat dua orang teman kerjanya, Ted dan Peabody, merasa heran dan bertanya-tanya. Kalau memang bukan mata-mata, kenapa dia mesti melarikan diri?
Phillip Noyce seolah melarang kita untuk bernafas sepanjang film. Suasana tegang dengan aksi laga yang dilakukan Evelyn tak pernah berhenti dari awal hingga akhir. Tidak bisa dipungkiri, trade mark Anggelina sebagai wonder woman kembali diperlihatkan disini. Tapi, bagi saya, Jolie seolah menjadi Lara Croft lagi (lagi, lagi, lagi). Bosan juga dengan karakter dia yang seperti itu terus. Memang sih, untuk peran-peran seperti ini, istri Brad Pitt lah yang paling pantas (apa jadinya yah, kalau di film ini bukan Anggelina? Pasti hambar banget), tapi kalau terus-terusan, kan jadinya akan biasa saja.
Untungnya, beberapa adegan di film ini bisa membuat kita berdecak kagum sambil mengeluarkan kata “wow” dan “ohhh, bisa begitu yah???” Bagaimana tidak,merakit bom dari kaki meja, merobohkan lantai tempat presiden Rusia berdiri, serta memakai racun laba-laba untuk melumpuhkan target, merupakan kecerdasan yang disuguhkan oleh Salt.

Kalau karakter lainnya sih, tidak ada yang terlalu mencolok. Seperti Liev Schreiber (Ted Winter), Chiwetel Ejiofor (Peabody), Daniel Olbrychsky (Vassily Orlov), dan August Diehl (Mike Krause). Sebenarnya merekalah yang menjadi salt (garam) di film ini. Hehehe...
Untuk adegan yang paling menyentuh bagi saya dan mungkin hampir sebagian besar penonton di dalam bioskop (berdasarkan suasana yang tiba-tiba hening dan mencekam) adalah ketika suami Evelyn dibunuh di depan matanya sendiri. Buat saya pribadi, inilah adegan terbaik yang dibawakan oleh Jolie sepanjang film. Dan secara keseluruhan, Salt pantas untuk menempati urutan kedua setelah Inception di minggu ini.

Stars : 3,5 of 5

Thursday 29 July 2010

The Curious Case of Benjamin Button

Sekarang saya akan menceritakan sebuah film yang merupakan salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. The Curious Case of Benjamin Button, film yang sudah agak lama, yang dibintangi oleh Brad Pitt (Benjamin).

“I was born under unusual circumstances” Begitulah film ini dimulai. Merupakan adaptasi dari cerita yang ditulis oleh Scott Fitzgerald pada tahun 1920, mengisahkan tentang seorang lelaki yang terlahir dengan usia delapan puluh, dan semakin hari semakin muda.

Plot diawali tentang dibuatnya sebuah jam dengan jarumnya berputar mundur yang diceritakan oleh seorang ibu di sebuah rumah sakit tempat dia sedang dirawat, kepada anaknya, Caroline (Julia Ormond). Sang ibu yang sudah tua, meminta Caroline untuk membacakan sebuah diary milik seseorang yang bernama Benjamin.
Benjamin terlahir berbeda dari orang lain. Saat dilahirkan, bayi Benjamin yang seharusnya memiliki kulit mulus dan kencang, seperti bayi kebanyakan, justru memiliki kulit keriput layaknya orang tua yang sudah sangat renta. Hal itu membuat ayahnya, Thomas Button (Jason Flemyng), sangat terpukul. Button membawa Benjamin kecil ke sebuah panti jompo. Disitulah akhirnya bayi tua itu dirawat. Hari berganti, Benjamin semakin lama semakin muda, meski sifat dan tingkah lakunya sama seperti anak lainnya.
Singkat cerita, Benjamin bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Daisy. Daisy mengetahui bahwa semakin hari Bejamin justru semakin muda. Dia kemudian jatuh cinta pada gadis kecil ini. Hari berganti, usia pun semakin bertambah. Begitu juga penampakan fisik tubuh. Yang kecil menjadi remaja, remaja menjadi dewasa, dewasa menjadi tua/manula. Tapi, bagaimana dengan Benjamin? Tentulah dia mulai dari belakang. Benjamin mengalami berbagai macam pengalaman di usia muda dalam kehidupannya. Mungkin karena penampakan "mutu"nya (MUka TUa), sehingga dia lebih gampang diterima dan bergaul oleh orang dewasa dalam usia yang sebenarnya. Selama masa mudanya itu, Benjamin memilih untuk berlayar ke segala tempat dan meninggalkan panti jompo yang disebutnya sebagai rumah.
Ketika kapten kapalnya mati akibat perang, Benjamin memilih pulang. Saat itulah dia bertemu dengan Daisy (Cate Blanchett) lagi. Tapi kali ini dengan penampilan yang berbeda. Usia mereka sama-sama berada dipertengahan, justru membuat mereka tampak normal. Sejenak mereka melupakan kelainan Benjamin. Sampai saat Daisy hamil, dan melahirkan seorang anak perempuan. Benjamin mulai gundah. Dia tak ingin anaknya bingung dengan keadaan dirinya. Meski Daisy tidak keberatan dengan keadaan itu, Benjamin tetap bersikeras untuk meninggalkan anak dan istriya. Yah, begitulah,,, life must go on. Daisy akhirnya menikah dengan pria lain, kemudian anak mereka tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, dan Benjamin, tentu saja semakin hari menjadi semakin muda.
Menurut saya, inti film ini baru dimulai di saat Benjamin berubah menjadi anak kecil yang memiliki penyakit demensia layaknya manula lainnya. Meski begitu, Daisy justru tidak meninggalkannya. Daisy tetap menjaga Benjamin, hingga akhirnya fisik Benjamin menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan, dan meninggal dalam pangkuan Daisy. Sungguh menyedihkan...
Menurut saya, ini adalah film dengan tema cerita yang tidak biasa tapi dikemas layaknya sebuah autobiografi visual. Kemampuan sang sutradara David Fincher, untuk mengatur alur perasaan kita seperti yang dirasakan oleh Benjamin dari awal hingga pertengahan film, lalu kemudian beralih kepada perasaan Daisy hingga penghujung film, merupakan unsur terbaik dari yang ditampilkan oleh Fincher. Untuk pemain, Brad Pitt tidak terlalu menarik perhatian. Justru si Cate, meskipun wajahnya tidak mendukung untuk memerankan Daisy di usia 20an (Agak ketuaan... hehehe), tapi kepintaran dia dalam memilih peran, membuat saya benar-benar kagum dengannya. Yahhh,,, masih pada ingatkan, saat Cate memerankan Lady Marion Loxley di film Robin Hood??? Hehehe... perannya selalu mencerminkan wanita yang independen. Thats rock!!!

Yang menarik bagi saya (lagi) di film ini, adalah cerita tentang jam dengan jarum yang mundur. Suatu hidangan appetizer yag lucu sekaligus dramatis, seolah menggambarkan bahwa jam itu memiliki hubungan dengan Benjamin. Secara keseluruhan, film ini mendapat tempat dihati saya, sama seperti film The Lake House yang diperankan oleh Sandra Bullock.

4,5 of 5

Monday 26 July 2010

The Sorcerer’s Apprentice

Akhirnyaaa,,,, setelah lama tidak membicarakan film, maka saya akan mulai mengeksplor film alumni Walt Disney Pictures yang terbaru. Yup… “The Sorcerer’s Apprentice”.
Diawali dengan kemunculan Merlin sang penyihir fenomenal di era tahun 700-an, membawa kita para penonton mulai merasakan kentalnya dunia magis saat itu. Meskipun dengan durasi yang cukup singkat, tapi adegan pembuka ini bisa membeberkan hampir delapan puluh persen inti cerita.
Merlin memiliki tiga orang murid, yaitu Balthazar Blake (Nicolas Cage), Veronica (Monica Bellucci), dan Maxim Horvath (Alfred Molina). Sayangnya, si Horvath berkhianat. Dia justru bekerjasama dengan Morgana, seorang penyihir wanita yang jahat, untuk menjatuhkan Merlin dan menghancurkan dunia. Berkat pengorbanan Veronica, Balthazar berhasil mengurung jiwa Morgana di dalam sebuah boneka yag disebut sebagai Grimhold. Sebelum wafat, Merlin meminta pada Balthazar untuk mencari “Prime Merlinian”. Prime Merlinian merupakan seorang penerus Merlin yang akan menghancurkan Morgana.
Balthazar kemudian melewati berbagai tempat dan ribuan waktu untuk mengurung para pengikut Morgana dan menemukan Prime Merlinian. Tapi cincin naga sebagai penanda “Prime Merlinian”, masih saja belum bergeming. Sampai akhirnya Balthazar bertemu dengan seorang remaja cowok yang sangat menggemari ilmu fisika. Awalnya Dave (Jay Baruchel) merasa kurang pede dan menganggap dirinya hanya orang biasa, tapi setelah berbagai macam petualangan, akhirnya dia (Dave) sadar bahwa ini adalah takdirnya.

Yang pertama ingin saya komentari adalah si Nicolas Cage. Sepertinya dia masih belum puas membintangi film-film ringan bertema Super Power. Haha… penempatan si Big Daddy (Kick Ass) sebagai Balthazar yang berwibawa tapi tidak monoton memang sangat pas. Juga kemampuan akting Baruchel dalam membawakan tipe anak muda yang pintar tapi tidak populer menjadi perpaduan yang bisa meningkatkan rating film ini.

Meskipun dari segi cerita, “The Sorcerer’s Apprentice”, bisa dibilang merupakan film yang “biasa saja”, namun dikemas dengan dramatisnya suasana malam kota New York serta megahnya percikan listrik milik Dave, membuat Jon Turteltaub sang sutradara patut diacungi jempol.
Untuk Walt Disney sendiri, saya merasa sama sekali tidak ada peningkatan dari film-film super hero sebelumnya. Jerry Bruckheimer sang produser sepertinya hanya mementingkan aspek visual ceritanya, sehingga saat menonton, kita lebih asik memperhatikan gambarnya dibanding apa yang disampaikan. Biasanya nih, jika jalan cerita biasa saja pasti akan dicari cara lain untuk menutupinya. Yah,,, untuk sekedar melepas lelah sepulang beraktifitas, film ini sangat recommended untuk ditonton.

Oia,,, saya sangat menyukai adegan saat cincin naga melingkarkan ekornya di jari dave kecil. That’s really awesome!!!
Stars : 3,5 of 5